CERITA DEWASA PENARI JALANAN BERTUBUH MONTOK DIPERKOSA

CERITA DEWASA PENARI JALANAN BERTUBUH MONTOK DIPERKOSA


CERITA DEWASA PENARI JALANAN BERTUBUH MONTOK DIPERKOSA, Semuanya orang didalamnya perlu berusaha dan berkorban agar tak terdepak, dan tidak seluruhnya jalan yang dapat dilintasi itu terang-benderang…Izinkan saya ceritakan peristiwa hidup saya. Nama saya Darmini, tetapi orang tidak banyak yang kenal nama asli saya. Bapak dan Simbok panggil saya Denok, itu panggilan biasa buat anak wanita di daerah saya, namun berarti tidak hanya itu. Denok  mempunyai arti montok alias sintal, serta ternyata makna itu yang lebih dikenang banyak orang-orang di kehidupan saya di Ibu-kota. Waktu kecil saya dihabiskan di daerah, jauh dari Ibu-kota. Saya anak hanya satu Bapak dan Simbok, satu keluarga petani penggarap yang gak berpunya. Sejak mulai kecil saya diajari menari oleh Simbok, karena beliau sendiri waktu muda ialah orang penari, serta seringkali ditanggap jika ada acara di daerah. Sayang, kehidupan kami yang damai di daerah berhenti waktu satu hari saya dan Simbok menemukan Bapak menggantung diri. Nyatanya Bapak punyai banyak hutang dikarenakan edan judi, dan beliau tidak sanggup membayar hutangnya itu. Kami terang sendu sebab Bapak sudah tak ada, dan juga kebingungan karena sekian hari seusai Bapak dikebumikan, kami ditendang dari rumah karena rumah kami diambil broker judi yang berikan hutang pada Bapak. Kami gak punyai tujuan, dan uang simpanan kami tidak berapa. Simbok pada akhirnya ngotot membawa saya berpindah ke Ibu-kota cari penghidupan.


"Denok, kita nggak dapat apapun kembali di sini, di kota kita bisa mencoba mencari uang, semoga dari sana mendingan ketimbang di sini," kata Simbok.


Saya cuman alumnus SMP, Simbok alumnus SD. Kami sama tidak sadar hidup di Ibu-kota demikian beratnya. Melamar pekerjaan ke sana-kemari, gak diterima lantaran dipandang pengajaran kurang tinggi. Mencari kerja yang gak butuh ijazah, lawan sangat banyak. Selanjutnya seusai cukuplah lama melihat pelbagai peluang yang ada, Simbok memilih untuk menggunakan ketrampilan kami. Hanya modal baju serta perabotan yang kami membawa dari daerah, dan radio tape sisa serta kaset-kaset musik tradisionil yang kami membeli dari pasar loak dengan tersisa uang, awali kami berdua jadi penari jalanan.


Waktu gadis-gadis seumur saya yang di kota lagi bersiap ujian akhir SMA atau melalui tahun awalan kuliah, serta yang di dusun menanti dijodohkan oleh orangtuanya, saya memulai menjalani kehidupan baru, menjual keterampilan seni tari bersama Simbok. Mulanya kami berkeliling-keliling Ibu-kota, semata-mata cari keramaian di mana kami dapat mendapat sekian lembar rupiah untuk melanjutkan hidup. Kami biasa mulai pagi-pagi, mengevaluasi jalanan Ibu-kota buat cari beberapa orang yang ingin kami hibur dengan tarian kami. Rupanya tidak ringan pula cari uang melalui langkah sesuai ini, paling-paling yang kami temukan cukup hanya buat makan kami berdua, satu atau kedua kalinya dalam hari itu. Serta gak di seluruh tempat kami dapat memperoleh pirsawan yang siap bayar, kadang kami justru ditendang atau dihardik. Sehabis lumayan lama, kami bertemu tempat di mana kami dapat terus bisa pirsawan dan uang: satu pasar induk yang lumayan besar, dan lingkungan disekitarnya. Kami lantas sewa satu kamar sewa murah di dekat Pasar. Banyak orang-orang di Pasar, berasal dari golongan menengah ke bawah, haus selingan murah yang dapat membuat mereka ingat daerah semasing. Hadirnya kami di situ terus disongsong senyuman, tawa, serta helai-lembar uang yang kumal hasil perasan keringat mereka. Meskipun seringkali helai-lembar itu dikasihkan ke kami kurang santun misalkan dengan diselinapkan ke busana kami. Apa saya serta Simbok benar-benar menarik? Entahlah ya. Saya sendiri tidak terasa elok. Selaku anak petani yang kerap main di luar semenjak kecil, kulit saya jadi rada gelap terbakar matahari. Tetapi Simbok pun dari dahulu terus membimbing dan memperingatkan saya buat menjaga badan meskipun secara simpel, jadi biarpun sawo masak, kulit saya masih mulus serta tak jerawatan apa lagi bopeng-bopeng lho. WAJIB 4D


Oh iya, barusan kan saya udah narasi makna nama panggilan saya, Denok. Dipertimbangkan betul pula sich kalaupun di katakan saya montok. Tidak tahu mengapa, meski rasanya dari kecil makanan saya bergizi ngepas, kok tetap tubuh saya dapat saja ya. Saat sebelum remaja saja tetek saya udah tumbuh, dan saat ini jadi subur gumebyur sampai saya selalu cemas dengan kemben saya tiap-tiap kali menari. Pantat saya pula kuat karena sebab dibuat latihan olah badan dalam tarian. Ada yang omong bahenol, saya sich matur nuwun saja kalaupun ada yang menganggapnya demikian. Terherannya, walaupun atas bawah besar, tengahnya tak turut besar, perut dan pinggang saya masih singset. Saya menganggapnya masih singset masalahnya kelihatannya kelak tubuh saya bakal menjadi seperti tubuh Simbok, tengahnya mulai ikut-ikutan lebar. Nach, jika Simbok itu elok. Hingga sampai usia begitu juga beliau terus elok. cerpensex.com Ditambah lagi apabila sudah gunakan sanggul dan dandan, wuihh. Seluruhnya orang nengok serta gak tonton apapun kembali. Saya sendiri selalu berasa buruk lho kalaupun tampil bersama Simbok. Ah, namun sedunia hanya saya sendiri yang nganggap muka saya tidak baik. Disamping Simbok, beberapa orang yang umum melihat kami menari kok seluruhnya katakan saya elok. Saya berpikir, ini mah pinter-pinternya Simbok merias saya saja. Waktu pertama didandani buat ngamen, saya protes, kok ribet sangat. Rambut harus disasak, disanggul, disunggar, gunakan tusuk serta kembang. Muka perlu dibedaki tebal-tebal, sampai lain warna dengan tubuh. Kemungkinan tinggal tahi lalat di pipi saya saja yang gak ketutupan. Alis saya yang udah tebal dibuat lebih tebal. Bibir pula diberikan gincu warna merah keren. Saya saat itu ngeluh,


"Kok udah seperti penganten saja, Mbok."


Simbok menjawab, "Yang bernama penari itu gak bisa biasa saja, nduk. Perlu kinclong, manglingi. Kita perlu membikin suka yang tonton."


Lambat-laun saya biasa pun memanfaatkan dandanan begitu, malahan saya menjadikan guyonan sama Simbok.


"Mbok, saya wis tiap hari terbentuk penganten, sesaat bila nikah betulan perlu seperti apakah diriasnya?" Dandan paras yang tebal jadi sisi seragam kerja saya, persis seperti kemben, kain batik, dan selendang. 


Tetapi betul-betul yang bernama nasib itu jalannya tidak ada yang mengetahui. 2 bulan kami tinggal di dekat Pasar, malapetaka hadir kembali. Waktu tengah nyebrang jalan, Simbok ketabrak mobil. Cidera kritis. Saya kuatir, beberapa orang di sekeliling beramai-ramai ngangkut Simbok ke rumah sakit. Tetapi Simbok tidak terselamatkan. Simbok wafat di rumah sakit seusai 2 hari dua malam usaha ditolong dokter dari sana. Sebetulnya mulai sejak ketabrak pula Simbok sudah tidak ada keinginan, tetapi tidak tahu mengapa beliau lama sekali kematiannya. Sekaratnya hingga sampai sepanjang hari. Sampai gak sampai hati saya menyaksikannya. Saat itu ada yang bisik-bisik, barangkali Simbok pasang susuk, maka dari itu wafatnya sulit. Orang kok sampai hati ya bicara sesuai itu. Tetapi apa itu betul atau gak, saya tak mau tahu, biarkanlah itu menjadi rahasia Simbok. Saya pada akhirnya sendirian di Ibu-kota, seperginya Simbok. Ditambahkan lagi, uang habis buat mbayar rumah sakit dan penguburan, justru perlu berutang kemanapun. Saya gak dapat menggelar acara beberapa macam buat Simbok, cuman dapat doakan sendiri mudah-mudahan roh Simbok dapat tenang di alam sana serta berjumpa kembali dengan Bapak. 1 minggu lebih saya di kontrak saja lantaran terlampau sendu. Kemungkinan setiap hari saya menangis, bersedih ingat Simbok, pula kesepian. Pada akhirnya saya memaksakan diri untuk keluar kembali, ngamen kembali, karena uang udah habis serta saya pula harus lawan beberapa tukang tagih hutang yang tidak ingin tahu persoalan saya . Maka, satu minggu setelah Simbok disemayamkan, saya kembali persiapan buat keluar, menari. Dihadapan cermin saya tata rambut saya sendiri, saya pasang sanggul serta kembang, saya bedaki muka saya supaya tidak terlihat sejumlah bekas menangis, saya gunakan kembali kemben dan kain, saya sampirkan selendang di leher. Ealah, sesuai keluar kamar saya malahan bertemu dengan ibu yang miliki kontrak. Sang ibu gak pakai basa-basi langsung tagih tunggakan dua bulan. Saya tidak mempunyai uang, jadi saya sekedar dapat ngomong maaf, dan sang ibu justru ngancam secara lembut. Gak apapun tidak bayar, tukasnya, namun esok kamu keluar tempat saya. Haduh biyung, kok tidak habis-habis ya kendala untuk saya. Saya pengin upaya dahulu, kata saya, kelak bakal saya bayar. Hari itu saya pergi ngamen, usaha mencari uang buat hidup.


CERITA DEWASA PENARI JALANAN BERTUBUH MONTOK DIPERKOSA


Apesnya, hari itu pasar cukup sepi, dan setelah dua jam saya baru bisa Rp5000 sehabis menari di pangkalan ojek. Saya tidak dapat fokus, kepala banyak pemikiran, bagaimana langkahnya biar kelak bila pulang sudah mempunyai cukup uang buat bayar sewa. Belum beberapa utang yang lain. Mendekati siang, saya tengah jalan di barisan beberapa toko besar dari sisi Pasar. Serta di muka toko beras terbesar di Pasar, saya lihat Juragan tengah hitung segepok uang. Beliau baru-baru ini terima banyak uang, ternyata ada orang yang habis mborong. Saya kala itu cuman tahu beliau menjadi ‘Juragan'. Beliau pemilik toko beras yang besar itu. Beliau telah tua, lebih tua ketimbang Simbok, barangkali umurnya udah 50 atau 60 tahun. Kepalanya nyaris botak, rambutnya tipis beruban, kumis serta jenggotnya jarang. Tubuhnya besar dan perutnya gemuk. Sekali kedua kalinya saya serta Simbok pernah menari di muka tokonya, dan pegawai-pegawainya berikan kami uang namun beliau tak. Namun beliau pernah pinjamkan uang pada Simbok, serta Simbok sempat mengembalikannya. Saya beranikan diri hampiri Juragan. Ia sendirian di muka toko, sementara anak buahnya repot dalam dan ada di belakang. Tokonya lagi sepi, tak ada konsumen.


"Juragan," pinta saya. "Anu… saya…"


Juragan lihat saya dengan acuh. "Ada apakah, Denok?"


"…saya… saya…" Duh, saya gak kuat bilangnya. Tetapi saya mesti katakan. "…saya bisa pinjam uang, Juragan? Uang saya telah habis untuk cost penyemayaman Simbok… saat ini saya perlu bayar kontrak dua bulan…"


"Hah?" Juragan menyaksikan saya dengan aneh, "Kamu penting uang?"


"Tolong, Juragan," saya memohon kembali, "Saya telah ditagih, ini hari mesti ada, atau saya ditendang. Saya janji bakal balikkan selekas mungkin."


Eh, kok Juragan langsung kantongi segepok uang tadi ia hitung-hitung.


"Denok," kata beliau dengan dingin, "Saya ini pedagang, bukan tukang memberi hutang. Kamu perlu uang? Kerja sana. Atau kamu berjualan saja." WAJIB 4D


"Saya saat ini pula kembali kerja, Juragan," saya geram tetapi tidak berani menunjukkan; nampaknya Juragan tak mau pinjamkan uang. "Cuman seramnya saya tak dapat dapat uang ini hari untuk membayar kontrak. Kalaupun berjualan, saya nggak miliki apapun, perlu jual apa?"


Namun selanjutnya tatapan Juragan kok berganti menjadi aneh… Beliau dekati saya dan memeluk saya. Tangannya yang besar itu menggenggam pundak saya.


"Siapa omong kamu tidak miliki apapun?" bisiknya. "Tubuh kamu bagus, Denok. Saya pengen kok mbayar buat itu." Beliau tarik badan saya merapat ke tubuhnya, hingga pipi saya melekat dari sisi dadanya yang gendut.


"Ihh?!" saya terkejut dengar bisikan Juragan itu. Duh, inikah yang bernama bisikan iblis? "Tubuh… saya?" Bisikan Juragan lagi terngiang di kepala saya. Bergidik bulu-bulu kuduk saya memikirkan apa tujuannya itu.


"Bila kamu pengin, Denok, saya lunasi bill kontrakanmu yang 2 bulan itu sekaligus mbayar untuk bulan depannya," bisik Juragan kembali.


Duh, biyung, saya harus bagaimana? Saya butuh uang, tetapi apa harus melalui cara sesuai ini? Tetapi bila gak, bagaimana kembali? Yang ada saya dapat ditendang, nggelandang, dan…ujung-ujungnya sama dengan. Saya tidak miliki opsi lain…


"…mau, Juragan…" saya berbisik, lirih sekali hingga tidak terdengaran. Kalaupun saja tidak ketutupan bedak, kemungkinan telah tampak muka saya berbeda merah seperti cabai.


Juragan tertawa, tubuhnya yang gemuk itu sampai terbuncang-guncang. "Bagus, Denok. Mari turut saya. Kamu ikutin saja kataku, kelak kubayar kamu, ya?"


Lantai atas toko beras itu rumah Juragan. Juragan bawa saya naik tangga dari sisi toko, masuk ke tempat tinggalnya. Juragan rupanya tinggal sendirian. Saya ingin tahu, apa Juragan tidak mempunyai istri? Kami masuk rumah Juragan. Saya selalu melihati lantai, tak berani membawa kepala, tetapi terkadang saya ngintip ke sana-kemari memandang situasi.


Juragan ternyata tinggal sendirian di atas tokonya. Ada photo tua yang memberikan Juragan dengan orang wanita—istrinya kah? Juragan menggamit tangan saya masuk ke satu kamar. Ruangan tidurnya. Ia suruh saya duduk di dipan. Saya duduk, sekalian tundukkan kepala. Juragan berdiri di muka saya, memperhatikan sekujur badan saya. Ia sentuh dagu saya, sembari ngomong,


"Denok, angkat kepalamu, tonton saya." Saya nurut. Kemungkinan ia tonton mata saya ketakutan 1/2 mati.


"Membuka kembenmu," tuturnya.


Ia simpan selembar uang Rp50.000 dari sisi saya. Saya melihat, memandang uang itu. Besar sekali untuk saya. Rata-rata sepanjang hari menari saya tak pernah mendapat uang sekitar itu. Tetapi saya masih tetap ragu-ragu. Juragan mendadak ingin ambil kembali uang itu.


"Kalaupun tak ingin ya udah," tuturnya dengan suara kurang suka.


Tetapi saya tahan uang itu dengan tangan saya, lalu saya ngangguk. Haduh, Simbok, Bapak, maafkan saya. Saya terlepas ikatan kemben di punggung saya, lalu perlahan-lahan saya urai belitan kain kemben merah yang membebat tubuh saya. Cocok tinggal selembar belitan yang tutup tetek saya, saya jadi malu, dan saya tahan selembar itu dengan lengan saya. Juragan tersenyum memandang saya.


"Wahh…susu kamu besar, ya? Buat orang gairah ajah…" saya tonton Juragan nyengir lebar seusai bicara itu. sumpah, anyar kesempatan ini ada lelaki terang-terangan ngaku begitu.


Helai uang lima puluh ribu barusan disimpan Juragan di samping saya ia mengambil, lipat, lalu ia berikan ke… aduh! Ia imbuhkan ke belahan dada saya!


"Itu untuk kamu, Denok," tukasnya. Duh, gak yakin rasanya. Awal mulanya saya dan Simbok perlu menari sepanjang hari, sampai pegal-pegal, buat dapat duit kurang dari 5 puluh ribu. Tapi… saat ini saya mendapat duit sekitar itu … kok enteng sekali?


"Betulan buat saya…?" Tetap tak yakin, saya bertanya kembali.


"Iya… asal kamu membuka semua," kata Juragan sembari menyeringai. "Tubuh kamu bagus, Denok. Montok… bahenol…"


Duh, apa artinya itu? Apa Juragan sukai dengan badan saya? Seumur-umur belum sempat ada orang yang omong itu ke saya… Jantung saya deg-degan mendengarkannya. Juragan menarik kain kemben masih yang ditahan tangan saya, serta kainnya melesat demikian saja tiada saya tahan. Saya masih tutupi gunung kembar saya dengan ke-2  tangan. Aduh… malu sekali rasanya, telanjang di muka orang lain…Tapi saya bisa memperoleh uang…


"Nach, Denok, saat ini membuka kainnya, ya?" saat ini Juragan mohon saya membuka pun kain batik coklat yang saya gunakan.


Sebab barangkali barusan saya malu serta pelan satu waktu membuka kemben, Juragan dekati saya dan membeberkan kain batik saya. Saya seketika mundur, namun tangan Juragan lalu menggenggam bahu saya.


"Tak boleh takut, Denok…" ujarnya.


Juragan  menggenggam paha saya yang beberapa tertutup kain batik. Ia remas sedikit paha saya. Suara "Eihh" keluar mulut saya, malu karena sentuhan Juragan. Tangannya selanjutnya nyelip ke bawah kain saya! Kulit tangan Juragan bergesekan dengan kulit paha saya, dan saya tambah deg-degan. Ia terus remas-remas paha saya. Saya nggigit bibir, takut keluar suara jenis-jenis dari mulut saya. Tangan satunya lagi nyibak kain saya, hingga sampai ke dekat pinggang… Duh, biyung, lagi diapakan saya ini? Kain saya tinggal nyangkut di pinggang saja, sementara ke-2  kaki, betis, dengkul, hingga sampai paha saya udah dikeluarkan dari buntelnya, sedikit kembali kancut saya terlihat!


"Rebah saja, Denok!" suruh Juragan.


Saya nuruti perintahnya, perlahan-lahan saya rebahkan tubuh atas saya. Ke-2  tangan saya terus nutupi sepasang tetek saya. Sanggul yang belum saya lepas (apa selayaknya saya lepas ?) ngganjal belakang kepala saya. Dan sekalian saya tiduran itu, tangan Juragan berlaga sangkutan paling akhir kain saya di pinggang. Aduhhh biyung. Ke-2  tangan saya untuk pekerjaan: satu membentang di muka dada, satu turun ke bawah nutupi kancut saya.


Saya sangsi, tetapi tidak tahu mengapa, saya pun kok merasa nafsu saya bangun? Aduh? Kok berikut jadi? Juragan terus menerus menyaksikan sekujur badan saya, sekalian memberi pujian.


"Marilah donk, gak perlu tertutupin," kata Juragan. "Tanganmu disingkirin donk? Denok, bila kamu pengin kupegang, kutambah dua puluh ribu, ya…


Ke-2  tangan saya digenggam Juragan, lalu perlahan-lahan dimasukkan dari sisi tubuh saya. Duh, bubar dech pertahanan saya. Saat ini susu saya tidak ada kembali yang tutupi. Saat ini kancut saya tampak.


"Euh… Juragan… pengin pegang?" kata saya kebingungan. "Ja… jadi saat ini tujuh puluh ribu?"




BERSAMBUNG....

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama